Table of Content

Kerajaan Haru Karo Dalam Eksistensi Budaya Nusantara

Kerajaan Haru merupakan salah satu kerajaan di Sumatera Utara, yang erat hubungannya dengan etnis Karo.

Kerajaan Haru Karo. Artikel berikut ini adalah merupakan salah satu referensi sehubungan dengan eksistensi etnis Batak di Indonesia dan dunia.

Eksistensi kerajaan-kerajaan di Sumatera Utara memiliki hubungan tertentu dengan sebuah Kerajaan bernama Haru. Kerajaan Haru pernah menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya.

Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya “Karo dari Jaman ke Jaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Palagan”.

"Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada? Hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut". (Darman Prinst, SH :2004).

Kerajaan Haru diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.

Mengenal Kerajaan Haru di Sumatera Utara

kerajaan haru

Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru-Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.

Eksistensi Haru-Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksmana Mahmud, Kuta Cane, Blang Kejeren, dan lainnya. (D.Prinst, SH: 2004).

Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad”, (1981). Beliau menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut.

Baca Juga: Urutan Sejarah Batak

Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan batak Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Batak Karo ysng dalam bahasa Aceh disebut batak Karee.

Brahma Putra, dalam bukunya “Karo Sepanjang Zaman” mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Komunitas etnis karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi “Kaum Lhee Reutoih” atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan etnis Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka.

Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.

Dikemudian hari terjadi percampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.

1 komentar

  1. Terima kasih infonya gan.....
    infonya sangat bermamfaat.....
    salam kenal dan salam sukses..
    mantap......