Seni
tradisi Reog merupakan salah satu dari banyak seni tradisi di Indonesia
yang merupakan sejarah budaya yang perlu dilestarikan, karena
kehadirannya berkaitan erat dengan fakta sejarah yang pernah ada.
Seni
budaya Reog Ponorogo terdiri dari beberapa versi cerita, dan dalam
penampilannya versi tersebut ditampilkan secara berurutan. Namun tidak
semua alur cerita Reog Ponorogo berisi cerita sepenuhnya mengenai
keadaan sebenarnya cikal bakal Reog. Seni Reog Ponorogo pada
penampilannya mengutamakan tokoh-tokoh sesuai dengan peranannya dalam
sejarah di masa lalu.
Meskipun banyak versi penuturan mengenai yang mana yang paling benar, namun tidak menjadi acuan. Richard Baumann (1977) pernah menyatakan bahwa tradisi lisan sebenarnya kurang menilai penting ‘kebenaran’ hal yang dinyatakan lewatpenuturan. Bobot pernyataan tidak dinilai berdasarkan kebenaran yang diukur dari kesesuaian antara yang dikatakan dengan bukti-bukti empiris.Dengan kata lain, unsur penutur dan cara penuturannya menjadi lebih penting daripada kebenaran empirik pernyataannya. Oleh karenanya, permasalahan yang berkembang mengenai kisah asal-usul Reyog Ponorogo dapat dipahami sebagai persoalan pengalihan dari wacana lesan menjadi tulisan. Pengalihan tersebut membawa serta pergeseran dari ‘kebenaran’ diskursif yang dinamis menuju ‘kebenaran’ tekstual yang statis.
Meskipun banyak versi penuturan mengenai yang mana yang paling benar, namun tidak menjadi acuan. Richard Baumann (1977) pernah menyatakan bahwa tradisi lisan sebenarnya kurang menilai penting ‘kebenaran’ hal yang dinyatakan lewatpenuturan. Bobot pernyataan tidak dinilai berdasarkan kebenaran yang diukur dari kesesuaian antara yang dikatakan dengan bukti-bukti empiris.Dengan kata lain, unsur penutur dan cara penuturannya menjadi lebih penting daripada kebenaran empirik pernyataannya. Oleh karenanya, permasalahan yang berkembang mengenai kisah asal-usul Reyog Ponorogo dapat dipahami sebagai persoalan pengalihan dari wacana lesan menjadi tulisan. Pengalihan tersebut membawa serta pergeseran dari ‘kebenaran’ diskursif yang dinamis menuju ‘kebenaran’ tekstual yang statis.
Pertunjukan
reyog di desa-desa seringkali tidak menampilkan peran Kelana Sewandana,
bahkan banyak kelompok reyog di wilayah Kabupaten Ponorogo tidak
memiliki pemain pemeran tokoh ini. Hasil wawancara dengan sejumlah
praktisi kesenian rakyat ini mengesankan bahwa sebenarnya bagi
kebanyakan kelompok reyog setempat kehadiran Kelana Sewandana bukan
keharusan
Tokoh-Tokoh Yang Muncul Dalam Reog Ponorogo
Beberapa
tokoh dan perannya sesuai dengan babad yang ada yang menjadi bagian
dari sejarah tersebut. Meskipun terdapat beberapa versi cerita dan
dominasi babad atau bagian dalam skenario Reog, namun yang pasti di
setiap babad atau bagian cerita pasti memunculkan tokoh-tokoh berikut,
yaitu :
Peranan Warok
Warok, merupakan tokoh yang disegani dalam kehidupan masyarakat Jawa. "Warok"
yang berasal dari kata wewarah adalah orang yang mempunyai tekad suci,
memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Warok adalah wong
kang sugih wewarah (orang yang kaya akan wewarah). Artinya, seseorang
menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang
lain tentang hidup yang baik”.“Warok iku wong kang wus purna saka
sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah
sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Warok
sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya.
Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok
dimintai nasehatnya sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman
hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh
Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.
Dalam
cerita kesenian reog, warok adalah pasukan yang bersandar pada
kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Warok Tua
adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih
dalam taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai
tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan
tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok, yaitu sosok dengan
stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan
gemblakan. Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah
Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang
dimilikinya.
Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok.
Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi.Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.
Reog dan jatilan ini fungsinya hanya sebagai tontonan/hiburan, ini agak berbeda dengan fungsi reog pada zaman dahulu yang selain untuk tontonan juga berfungsi sebagai pengawal yang memeriahkan iring-iringan temanten atau anak yang dikhitan serta untuk kepentingan pelepas nadzar atau midhang kepasar.
Perbedaan antara Jatilan dan Reog antara lain adalah pertama, dalam permainan Jatilan penari kadang-kadang bisa rnencapai trance, sedangkan pada Reog penari tidak bisa mengalami hal ini. Kedua, pada Jatilan selama permainan berlangsung digunakan tempat / arena yang tetap. Pada Reog selain permainannya tidak menggunakan arena atau tempat yang tetap, juga sering diadakan untuk mengiringi suatu perjalanan ataupun upacara.
Mengenai kapan dan dimana lahirnya dua jenis kesenian ini orang tidak tahu. Para pemain Jatilan dan Reog hanya mewarisi kesenian tersebut dari nenek moyang mereka. Orang-orang umumnya menyatakan bahwa Jatilan dan Reog sudah ada sejak dulu kala. Pendukung permainan ini tidak tentu jumlahnya tergantung pada banyak sedikitnya anggota. Meskipun demikian biasanya pendukung tersebut sekitar 35 orang dan terdiri dari laki-laki dengan perincian: penari 20 orang; penabuh instrumen 10 orang; 4 orang penjaga keamanan/ pembantu umum untuk kalau ada pemain yang mengalami trance; dan 1 orang sebagai koordinator pertunjukan (pawang).
Para penari menggunakan property pedang yang dibuat dari bambu dan menunggang kuda lumping. Di antara para penari ada yang memakai topeng hitam dan putih, bernama Bancak (Penthul) untuk yang putih, dan Doyok (Bejer/Tembem) untuk yang hitam. Puncak tarian Jatilan ini kadang-kadang diikuti dengan keadaan mencapai trance (tak sadarkan diri tetapi tetap menari) ada para pemainnya. Sebelum pertunjukan Jatilan dimulai biasanya ada pra-tontonan berupa tetabuhan dan kadang-kadang berupa dagelan/ lawakan.Kini keduanya sudah jarang sekali ditemui, dan pertunjukan ini terdiri dari 3 babak.
Dewasa ini ada kemajuan dalam kesenian tan Jatilan dengan munculnya Jatilan Gaya Baru di desa Jiapan, Tempel dan Sleman. Instrumen yang dipakai adalah kendang, bendhe, gong, gender dan saron. Jadi jenis Jatilan ini sudah tidak memakai angklung lagi.Yang menarik pada Jatilan ini adalah apabila pemain berada dalam keadaan trance dia bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dan kalau diperbolehkan dia bisa menunjuk orang yang telah mengganggu pertunjukan, seandainya gangguan ini memang terjadi. Sering pula dalam keadaan trance ini pemain meminta sebuah lagu dan ketika lagu itu dinyanyikan oleh pemain musik ataupun oleh Pentul dan Bejer, penari yang trance tersebut erjoged mengikuti irama lagu tersebut. Kuda lumping di sini tidak hanya 6 tetapi 10 buah. Dua kuda pasangan terdepan berwarna putih, sedangkan yang 8 buah berwarna hitam. Dua kuda pasangan yang ada di baris belakang adalah kuda kecil atau anak kuda (belo - Jawa). Anak kuda ini dibentuk sedemikian rupa sehingga memberi kesan kekanak-kanakan. Kepala kuda yang kecil memandang lurus ke depan, sedang kepala kuda yang lain tertunduk. Perbedaan sikap kepala kuda lumping itu bukan hanya model atau variasi, tetapi memang digunakan untuk menunjukkan atau memberi kesan bahwa peran kuda tersebut berbeda dengan kuda-kuda yang lain dan gaya tarian orang yang menunggang anak kuda agak berlainan, yaitu harus lebih lincah dan leluasa dalam bergerak/bergaya, dan memberi kesan kekanak-kanakan.Di samping itu masih banyak keunikan-keunikan yang menambah kemeriahan pertunjukan Jatilan Gaya Baru ini.
sumber :
Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok.
Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
Peranan Gemblakan
Gemblakan, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam meminjam gemblak.Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi.Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.
Peranan Jathilan
Jathilan, adalah salah satu jenis tarian rakyat yang bila ditelusur latar belakang sejarahnya termasuk tarian yang paling tua di Jawa. Tari yang selalu dilengkapi dengan property berupa kuda kepang ini lazimnya dipertunjukkan sampai klimaksnya, yaitu keadaan tidak sadar diri pada salah seorang penarinya. Penari jatilan dahulu hanya berjumlah 2 orang tetapi sekarang bisa dilakukan oleh lebih banyak orang lagi dalam formasi yang berpasangan. Tarian jatilan menggambarkan peperangan dengan naik kuda dan bersenjatakan pedang. Selain penari berkuda, ada juga penari yang tidak berkuda tetapi memakai topeng. Di antaranya adalah penthul, bejer, cepet, gendruwo dan barongan.Reog dan jatilan ini fungsinya hanya sebagai tontonan/hiburan, ini agak berbeda dengan fungsi reog pada zaman dahulu yang selain untuk tontonan juga berfungsi sebagai pengawal yang memeriahkan iring-iringan temanten atau anak yang dikhitan serta untuk kepentingan pelepas nadzar atau midhang kepasar.
Perbedaan antara Jatilan dan Reog antara lain adalah pertama, dalam permainan Jatilan penari kadang-kadang bisa rnencapai trance, sedangkan pada Reog penari tidak bisa mengalami hal ini. Kedua, pada Jatilan selama permainan berlangsung digunakan tempat / arena yang tetap. Pada Reog selain permainannya tidak menggunakan arena atau tempat yang tetap, juga sering diadakan untuk mengiringi suatu perjalanan ataupun upacara.
Mengenai kapan dan dimana lahirnya dua jenis kesenian ini orang tidak tahu. Para pemain Jatilan dan Reog hanya mewarisi kesenian tersebut dari nenek moyang mereka. Orang-orang umumnya menyatakan bahwa Jatilan dan Reog sudah ada sejak dulu kala. Pendukung permainan ini tidak tentu jumlahnya tergantung pada banyak sedikitnya anggota. Meskipun demikian biasanya pendukung tersebut sekitar 35 orang dan terdiri dari laki-laki dengan perincian: penari 20 orang; penabuh instrumen 10 orang; 4 orang penjaga keamanan/ pembantu umum untuk kalau ada pemain yang mengalami trance; dan 1 orang sebagai koordinator pertunjukan (pawang).
Para penari menggunakan property pedang yang dibuat dari bambu dan menunggang kuda lumping. Di antara para penari ada yang memakai topeng hitam dan putih, bernama Bancak (Penthul) untuk yang putih, dan Doyok (Bejer/Tembem) untuk yang hitam. Puncak tarian Jatilan ini kadang-kadang diikuti dengan keadaan mencapai trance (tak sadarkan diri tetapi tetap menari) ada para pemainnya. Sebelum pertunjukan Jatilan dimulai biasanya ada pra-tontonan berupa tetabuhan dan kadang-kadang berupa dagelan/ lawakan.Kini keduanya sudah jarang sekali ditemui, dan pertunjukan ini terdiri dari 3 babak.
Dewasa ini ada kemajuan dalam kesenian tan Jatilan dengan munculnya Jatilan Gaya Baru di desa Jiapan, Tempel dan Sleman. Instrumen yang dipakai adalah kendang, bendhe, gong, gender dan saron. Jadi jenis Jatilan ini sudah tidak memakai angklung lagi.Yang menarik pada Jatilan ini adalah apabila pemain berada dalam keadaan trance dia bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dan kalau diperbolehkan dia bisa menunjuk orang yang telah mengganggu pertunjukan, seandainya gangguan ini memang terjadi. Sering pula dalam keadaan trance ini pemain meminta sebuah lagu dan ketika lagu itu dinyanyikan oleh pemain musik ataupun oleh Pentul dan Bejer, penari yang trance tersebut erjoged mengikuti irama lagu tersebut. Kuda lumping di sini tidak hanya 6 tetapi 10 buah. Dua kuda pasangan terdepan berwarna putih, sedangkan yang 8 buah berwarna hitam. Dua kuda pasangan yang ada di baris belakang adalah kuda kecil atau anak kuda (belo - Jawa). Anak kuda ini dibentuk sedemikian rupa sehingga memberi kesan kekanak-kanakan. Kepala kuda yang kecil memandang lurus ke depan, sedang kepala kuda yang lain tertunduk. Perbedaan sikap kepala kuda lumping itu bukan hanya model atau variasi, tetapi memang digunakan untuk menunjukkan atau memberi kesan bahwa peran kuda tersebut berbeda dengan kuda-kuda yang lain dan gaya tarian orang yang menunggang anak kuda agak berlainan, yaitu harus lebih lincah dan leluasa dalam bergerak/bergaya, dan memberi kesan kekanak-kanakan.Di samping itu masih banyak keunikan-keunikan yang menambah kemeriahan pertunjukan Jatilan Gaya Baru ini.
Peranan Batara Katong
Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa didaerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini. (Kisah ini dapat dibaca di artikel Seni Budaya Reog Ponorogo dan Asal-usulnya)
Dalam
konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian
bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam,
membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti
juga kekuasaan. Dan Batoro Katonglah yang menjadi figur yang di
idealkan, penguasa sekaligus ‘ulama. Pelacakan ‘genealogi’ kultur
politik pesantren dan elite Ormas Islam di Ponorogo, setidaknya dapat
dimulai dari titik ini.
Dan terdapat dua konklusi penting yang menurut penulis dapat ditarik upaya Batoro Katong yakni: pertama, upaya meraih kekuasaan (berpolitik praktis) tidak lain adalah bagian dari misi suci ‘berdakwah’ melalui politik. Kedua,
mereka yang memiliki kultur berbeda, dan dianggap seringkali berlawanan
dengan nilai agama, berarti juga adalah musuh secara politis yang harus
‘di kuasai’ dan kemudian ‘di beradabkan’. Ketiga, untuk
melakukan proses memberadabkan masyarakat melalui agama, dan melakukan
proses penjinakan-penjinakan unsur-unsur subversif yang ada dalam
masyarakat Ponorogo (misal: penjinakan Reog).
sumber :
- Blog : Sejarah Reog Ponorogo : LEGENDA REOG PONOROGO
- Blog : Mengenal Budaya Jawa : Asal usul Tari Reog Ponorogo, Indonesia
- Web : IndoTopList : REOG PONOROGO dan WAROK
- Blog : Arie Saksono : Legenda Reog Ponorogo dan Warok