Table of Content

Urutan Tahun Sejarah Batak V : Adu Domba Barat

Pada periode ini bangsa barat memulai berbagai cara dan politik termasuk adu domba untuk menguasai seluruh Tanah Batak.
Perang Batak
Masuknya imperialisme menghadirkan banyak dampak positif maupun negatif di Tanah Batak. Ilmu Pengetahuan dan Kristenisasi sebagai bentuk positif, kemudian diadu domba dengan masyarakat Islam.


Sebelum membaca artikel ini, baca dulu artikel sebelumnya Urutan Tahun Sejarah Batak IV.


1823
Thomas Raffles, Jenderal Inggris, tertarik untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan di Sumatera. Idenya; Aceh yang Islam dan Minagkabau dipisah dengan Komunitas Batak Kristen. Tanah Batak harus, menurut istilah Ompu Parlindungan, “dikristenkan”; diterima atau tidak.

Kebijakan ini ditiru oleh Raffles dari Lord Moira, Gubernur Jenderal Inggris di Kalkutta yang berhasil melemahkan Kerajaan “Dehli” Islam di India; Burma yang Budda serta Thailand yang Buddha harus dipisah dengan bangsa Karen yang Kristen. (Aljunied:2004)

Untuk itu, pihak Inggris mengirimkan tim-tim pendeta kerajaan ke lokasi tersebut. Di Tapanuli saja ada diutus beberapa orang, sbb;
1. Pendeta Burton yang bertugas menguasasi bahasa Batak dan menerjemahkan Bibel ke Bahasa Batak, bertindak sebagai pemimpin misi.
2. Pendeta Ward, seorang dokter yang meneliti pengaruh penuakit menular, epidemik yang menjangkiti penduduk Batak.
3. Pendeta Evans, bertugas mendirikan sekolah-sekolah pro-Eropa.
Ketiganya merupakan tim ekspedisi dalam infiltrasi pasukan Inggris di Tanah batak yang akan berprofesi sebagai pendeta agar tidak terlalu mendapat penolakan di sebagian besar mayarakat Batak yang telah menganut agama Parmalim, agama S.M. Raja, di pusat-pusat kerajaan Batak.

1823-1824
Pertahanan benteng SM Raja di Humbang, yang ‘splendid isolation’ dan tertutup untuk pihak-pihak tidak resmi, sangat kuat dan tidak dapat disusupi, pelabuhan Barus bebas dari penyusup.. Tim tersebut hanya berhasil masuk melalui pantai Sibolga dan daerah Angkola yang mayoritas penduduknya muslim dan terbuka. Burton dan Ward berhasil memasuki Tanah Batak, melalui pelabuhan Sibolga tempat beberapa komunitas Inggris menetap berdagang, menyisir hutan belantara dan mencapai Lembah Silindung. Misi berhasil. Namun ketika akan menyusup ke Toba, pusat kehidupan sosial masyarakat Batak, Ward memberikan instruksi untuk mundur. Epidemik Kolera masih mengganas di Toba dan Humbang. Burton dan Ward mundur ke Sibolga. Dari sini ‘character assasination’ terhadap panglima-panglima Padri dilancarkan.

Perseteruan antar penjajah untuk menguasai Tanah Batak muncul. Belanda menggantikan posisi Inggris di Tapanuli, sesuai ‘Traktat London’. Pendeta-pendeta Inggris diusir. Mereka yang sudah berhasil memasuki wilayah privasi para Panglima tersebut dituduh bersekongkol dengan Padri.

1830-1867
S.M Raja XI, setelah naik tahta mulai menata kehidupan rakyatnya. Ada yang menyebutkan angka tahunnya adalah 1841-1871. Di beberapa wilayah dilakukan pembangunan. Hubungan diplomasi luar negeri dengan Kesultanan Aceh dijalin kembali. Sang Raja mulai menyadari kehadiran elemen-elemn penyusup yang bermaksud untuk menguasai dan meniadakan Kedaulatan Bangsa Batak. Belanda yang meneruskan kebijakan Raffles tidak bisa menerima; Bangsa Batak malah melakukan kerjasama militer dengan Aceh.

Perkembangan pembangunan di bidang sosial dan pendidikan meningkat. Kerajaan mulai mengerjakan penulisan sejarah Batak dalam ‘Arsip Bakkara’ setebal 23 jilid. Total Satu setengah meter tebalnya. Sebagain besar mengenai undang-undang, tradisi dan kehidupan kerajaan. Sebuah usaha yang memberikan dampat baik terhadap kredibilitas otoritas raja dan kehidupan masyarakat namun sudah terlanjur terlambat. Elemen-elemen rakyat yang putus asa dengan epidemik kolera sudah banyak yang pro-Belanda.

Arsip tersebut dijilid setebal lima sentimeter dengan jumlah jilidan 23. Bila ditumpukkan akan mempunyai lebar sekitar satu setengah meter. Ditulis dengan menggunakan pena yang terbuat dari pohon Aren. Tidak diketahui siapa penulisnya tapi yang pasti penulisannya diperintahan oleh Sisingamangaraja XI dalam sebuah usaha untuk memajukan peradaban Batak pada era pemerintahannya.

Jilid 1 sampai dengan 10, berupa kitab raja-raja kerajaan atau “Book of Kings” seperti Pararaton, Tambo atau Sejarah Melayu dan lain sebagainya.

Jilid 11 sampai dengan 23, merupakan annals (dokumentasi tahunan) perihal pemerintahan Sisingamangaraja XI di Bakkara. Bila buku ini diterbitkan kembali maka kemasyhurannya dipastikan akan menyamai kitab-kitab Majapahit ala Prapanca.

Secara rinci mulai dari jilid 1 sampai dengan 3 berisikan informasi mengenai pemerintahan Dinasti Sorimangaraja selama 90 generasi di Sianjur Sagala Limbong Mulana di kaki gunung Pusuk Buhit.
Jilid satu dimulai dengan kalimat Ta Pa Da Na Da Na A A Sa Na yang berarti kisah tentang Putri Tapidonda Nauasan, ibu suri dari suku bangsa Batak. Diyakini oleh kepercayaan agama orang-orang Batak saat itu, diturunkan dari ‘banua ginjang” oleh Debata Mulajadi Na Bolon.

Jilid 2 berisi kisah pemisahan diri orang-orang Batak Simalungun dari kekuasaan Dinasti Sorimangaraja dan mendirikan kerajaan Nagur. Menyusul pula orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu serta  kesetiaan orang Mandailing, Angkola dan Sipirok terhadap pemerintah berkuasa saat itu.

Jilid 3 berisi tentang file-file mengenai keistimewaan dan kesaktian raja-raja Batak. Legenda-legenda mengenai raja misalnya Sorimangaraja XC yang diyakini dapat menerbangkan benda mati ke udara, demikian juga dari pihak marga Simanullang dan Sinambela yang dapat menerbangkan pedangnya. Semuanya menjelaskan peristiwa konstalasi politik kuno dalam sebuah cerita perumpamaan dimana Dinasti Sorimangaraja dijatuhkan oleh orang-orang marga Simanullang dan dijatuhkan lagi oleh pihak Sinambela

Jilid 4 samapi 7 berisi dokumentasi pemerintahan Dinati Sisigamangaraja di Bakkara. Semuanya berisi mengenai kelahiran raja dan pengangkatannya dan lain sebagainya. Setiap peristiwa itu juga dibarengi dengan penjelasan mengenai kejadian alam yang menyusul terjadi.

Di jilid ini juga diceritakan bahwa Sultan Alauddin Muhammad Syah, seorang Sultan Aceh, mengadakan perjanjian kenegaraan dengan pihak Singamangaraja IX dalam kerjasama pertahanan. Sisingamangaraja IX melepaskan pengaruhnya dari Singkil serta daerah Uti Kiri definitif kepada pihak Aceh. Sebagai imbalannya pihak Aceh menyerahkan pengaruhnya di daerah Uti Kanan dengan ibukotanya Lipatkajang ke pihak Singamangaraja IX. Barus yang dikuasai oleh pihak Dinasti Pardosi dan Dinasti Pasaribu Hatorusan (Tuanku Hulu dan Hilir) ditetapkan sebagai zona netral. Sementara itu pihak Aceh mengakui pengaruh Sisingamangaraja IX atas wilayah Simalungun dan kawasan Karo berada dalam pengaruh Aceh.

Dikisahkan juga perihal peristiwa suaka politik Pangeran Gindoparang Sinambela yang diusir oleh Singamangaraja IX ke wilayah Uti. Gindoporang Sinambela sekarang ini menjadi leluhur komunitas muslim Sinambela di Singkil. Perihal keluarga Gindoparang dan anaknya Faqih Sinambela yang menjadi seorang Jenderal di pihak Padri didapat oleh sejarawan Sutan Martua Raja dari sebuah catatan keluarga orang-orang muslim marga Sinambela di Singkil. Di sana kebanyakan mereka menjadi guru-guru agama Islam yang menikah dengan orang-orang marga Pohan dari Barus.

Jilid 7 ditutupi dengan sebuah dokumentasi peristiwa tragis yang menimpa Singamangaraja IX yang hendak mencoba sepucuk bedil hadiah dari Sultan Aceh. Dia menembak mati satu ekor gajah yang mengakibatkan dirinya hancur lebur diinjak oleh gajah-gajah yang lain.

Jilid 8 seluruhnya berisi dokumentasi pemerintahan Singamangaraja X serta peristiwa konflik kerajaan dengan kekuatan Padri.

Jilid 9 berisi mengenai mitos kepala terbang.

Jilid 10 mengenai kehidupan Amantagor Manullang selama memerintah di Bakkara sebelum era Dinasti Sisingamangaraja. Dia tewas dan dibunuh oleh orang yang tak dikenal di dataran tinggi Tele dan dikuburkan di Paranginan, Humbang. Daerah ini sampai sekarang masih sangat rawan dan menjadi sarang para perampok dan bajing loncat. Sebelum Tele ada sebuah daerah yang bernama Dolok Partangisan yang dianggap angker dan seram karena diyakini dulunya menjadi pusat pengajaran mistik dan membutuhkan pengorbanan nyawa anak manusia.

Di jilid 10 ini pula diinformasikan mengenai kedatangan orang Eropa yang disebut sebagai Si Bontar Mata oleh bahasa Batak yang memasuki Silindung tapi tidak melalui Bukit Sigompulon. Agama yang mereka bawa, katanya, ditolak oleh orang-orang Batak. Tidak disebutkan mengapa.

Jilid 11 berisi mengenai informasi penobatan Sisingamangaraja XI dalam usia 10 tahun akan tetapi telah bersikap sangat bijaksana.

Jilid 11 sampai dengan 23, merupakan file-file pemerintahan Ompu Sohahuaon yakni Sinagamangaraja XI. Juga mengenai penanggalan pemerintahan yang dimulai dari penobatannya sebagai raja. Menyerupai angka tahun Jepang.

Tahun I dalam penanggalan Sisingamangaraja XI sama dengan tahun 1830 M. Di ajaran parmalim juga terdapat penanggalan yang berdasarkan pada era Dinasti Uti dimana tahun 497 Masehi sama dengan tahun 1450 tahun Batak. Tahun ini dipercaya merupakan tahun berdirinya agama parmalim.
Sementara itu jilid 23 ditutup dengan tahun ke-37 dari pemerintahan Sisingamangaraja yang berarti tahun 1866 M.

Singamangaraja XI menyesuaikan permulaan tahun dengan permulaan Tinki Ni Pangkuron yakni musim mencangkul sawah. Ini berarti tahunnya disesuaikan dengan musim hujan yang di tanah Batak adalah pada pertengahan November. Untuk tanda diambillah bintang na pintu yakni Orion sementara tenggelamnya bintang hala yakni Skorpio.

Permulaan bulan dihitung degan naiknya bulan. Sehingga tula yakni malam terang bulan purnama selamanya jatuh pada tanggal 15 seperti penanggalan tahun Hijriyah. Sepuluh bulan pertama tidak diberi nama akan tetapi hanya penomoran seperti bulan sapaha sada sampai dengan bulan sapaha sappulu. Sementara itu bulan yang ke-11 bernama bulan hala dan bulan ke-12 bernama bulan hurung.
Para ahli astronomi kerajaan mengerti bahwa penanggalan berdasarkan bulan berbeda dengan penanggalan berdasarkan bintang selama 11 hari setiap tahun. Akibatnya, permulaan dari bulan sapaha sada yang begitu penting untuk mencangkul sawah turut pula bergeser 11 hari dari timbulnya bintang na pitu. Singamangaraja XI juga mengadakan bulan na badia yakni bulan ketigabelas yang diselipkan antara bulan hurung dan bulan sapaha sada. Tujuannya, agar perhitungan waktunya tepat pada permulaan tahun dengan timbulnya bintang na pitu, tepat dengan permulaan musim hujan dan permulaan musim mencangkul sawah.

Jilid 11 dan 12 kondisinya sangat rusak.

Jilid 13 sampai dengan jilid 16 mengenai periode pembangunan ibukota Bakkara dan daerah Toba dalam periode 1835-1846. Termasuk penataan pertanian, peternakan, penetapan geografis negeri-negeri dan juga pembangunan yang bersifat sosial dan poltik.

Dalam jilid 14 disebutkan bahwa Singamangaraja XI mengadakan kunjungan kenegaraan ke Aceh dalam usia 24 tahun. Tujuannya untuk mengikuti pendidikan militer di Indrapuri selama 2 tahun. Di sana dia satu kelas dengan pangeran Ali Muhammad Syah, Tengku Mahkota Kesultanan Aceh.

Di sini juga disebutkan nama Teku Nangta Sati, ayah dari Cut Nya’ Dien dan mertua dari Teuku Umar, yang ikut ke Bakkara bersama Singamangaraja XI selaku ‘Chief Aceh Military Mission’ yang pertama. Selama Singamangaraja XI di luar negeri, pemerintahan kerajaan di dalam negeri dipegang oleh Panglima Panibal Simorangkir, putra dari Panglima Jomba Simorangkir, pengawal setia Singamangaraja XI.

Dalam jilid 16 dicatat bahwa telah lahir putra mahkota Parobatu di tahun ke-16 dari pemerintahan Singamangaraja XI yakni tahun 1845 M. (Dia kelak memerintah antara tahun 1867-1907)

Jilid 17 menceritakan datangnya dua orang Eropa, Si Junghun dan Si Pandortuk – the big nose yakni Dr. Junghuhn dan Dr. van der Tuuk. Momen inilah yang membuat adanya kesempatan bagi orang asing mengabadikan foto Singamangaraja XI. Van der Tuuk merupakan orang kulit putih satu-satunya yang pernah diijinkan menginap di Bakkara karena dia menyampaikan salam kepada Sinagamangaraja XI, dari abangnya Putra Mahkota Lambung Sinambela di Roncitan, Sipirok.

Jilid 21 berisi informasi mengenai kunjungan Singamangaraja XI pada tahun 1865 kepada pendeta Nommensen di Huta Damai untuk menagih pajak atau cukai berupa ‘nyonya kulit putih’.

Dalam jilid 23 disebutkan bahwa dalam pemerintahan yang ke-36 Singamangaraja XI di tanah Batak Utara mengamuk lagi Begu Attuk, plague epidemic, serta Begu Arun yakni kolera. (Singamangaraja XI sendiri diketahui meninggal karena kolera)
Di jilid ini disebutkan juga bahwa Putera Mahkota Parobatu ditugaskan selama dua tahun untuk mengikuti pendidikan militer di Aceh pada tahun 1864-1866.



1833
Tentara Belanda mulai mendaratkan pasukan ekspedisi dibawah Komando Mayor Eiler, di daerah Natal dan mengangkat rajanya menjadi raja boneka dengan gelar; Regent van Mandailing. Elemen-elemen padri Minang dibasmi.

1833-1834
Pasukan Kolonel Elout menguasai Angkola dan Sipirok. Sipirok menjadi batu loncatan untuk menggempur Toba. Peta-peta sasaran tembak sudah dikumpulkan sebelumnya oleh tim penyusup dan orang-oramg Eropa yang bergerak bebas di Tanah Batak

Kolonel Elout memerintahkan pendeta-pendeta tentara Belanda, yang menjadi bawahannya di pasukan tersebut, antara lain; Pendeta Verhoeven untuk mempersiapkan diri untuk meng-kristenkan penduduk asli Tanah Batak Utara. Verhoeven diwajibkan untuk bergaul dengan penduduk asli dan belajar Bahasa Batak.

Eliot melalui kakaknya, saudara perempuannya, di Boston, AS, meminta tambahan tim misi dari American Baptist Mission (ABM). Permintaan ini mendapat dukungan dana oleh Clipper Millionairs yang berpusat di Boston dengan kompensasi mereka dapat menguasai kegiatan ekspor dan impor di Tanah Batak yang sangat potensial saat itu.

Seperempat abad kemudian, Hamburg Millionairs mendanai pendeta-pendeta dari Barmen untuk mengkristenkan Tanah Batak, hasilnya sejak tahun 1880-1940, di belakang “Reinische Missions Gesselschaft”, seluruh arus perdagangan ekspor dan impor di Tanah batak dimonopoli oleh “Hennemann Aktions Gessellschaft”. Diperkirakan, paska PD II total pengusaha-pengusaha nasionalpun tidak sanggup mendekati 10 persen dari volume perdagangan “Hennemen & Co,” dulu di Tanah Batak. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

1833-1930
Masyarakat Mandailing menderita dengan pendudukan Belanda setelah beberapa usaha mempertahankan diri, gagal. Eksodus ke Malaysia dimulai. Komunitas-komunitas diaspora batak di luar negeri terbentuk. Di Malaysia, Mekkah, Jeddah dan lain sebagainya.

1834
ABM mengirimkan tiga orang pendeta ke Tanah Batak. Yakni; Pendeta Lyman, Munson dan Ellys. Kolonel Elout menempatkan Ellys di Mandailing untuk mengkristenkan masyarakat muslim di sana. Lyman dan Munson melanjutkan jejak Burton dan Ward.

Lyman dan Munson memasuki Toba dengan seorang penerjemah dari Batak Muslim, Jamal Pasaribu. Di sana mereka disambut baik. Namun setelah insiden penembakan mati seorang wanita tua oleh Lyman, raja setempat,  Raja Panggulamau menolak kehadiran mereka.

Penembakan wanita tua, yang kebetulan, namboru sang raja tidak dapat diterima oleh raja. Lyman dan Munson mendapat hukuman mati oleh pengadilan lokal.

1834-1909
Tokoh intelektual Batak lainnya muncul ke permukaan. Syekh H. Muhammad Yunus Nasution menjadi ulama terkenal di Huraba, Angkola. (Schnitger 1983: 43-48)

1834-1838
Pemerintahan Militer Belanda di Tanah Batak Selatan didirikan secara permanen. Komplek markas Besar Belanda didirikan berikut taman perumahan para pemimpin militer.

1838-1884
Kekuatan militer Belanda bertambah kuat. Sumatera Barat dapat dikuasai. Mandailing, Angkola dan Sipirok menjadi Direct Bestuurd Gebied, Raja Gadumbang tidak jadi dijadikan Sultan oleh Pemerintah Penjajahan Belanda, akan tetapi dibohongi dan hanya diberikan gelar Regent Voor Her Leven.

Pemimpin-pemimpin masyarakat Batak Islam yang tidak mau tunduk dengan Belanda di berbagai daerah, dibasmi. Silindung masuk ke dalam “Residente Air Bangis” tahun 1973 dan Toba, yang belum takluk, dimasukkan pada tahun 1881. Kerajaan-kerajaan lain yang berhubungan dengan Kerajaan Batak di Toba tidak dapat berbuat banyak untuk membantu. Hegemoni Eropa tidak dapat terbendung. Manusia di nusantara hanya menunggu waktu untuk menjadi mangsa Eropa. Kerajaan Batak terisolir dan melemah. Rakyat sudah banyak yang pro Belanda.

1839-1840
Belanda kembali lagi dengan sebuah kekuatan perang ke Barus. Sebelumnya elemen Belanda yang memonopoli dan membuat kesukaran bagi penduduk Barus berhasil dideportasi oleh penduduk dan kerajaan. VOC dibenci oleh rakyat dan perdagangannya di Barus dikalahkan oleh pedagang-pedagang Aceh. Paska pendirian kantor resmi penjajah Belanda di Barus, para pedagang dan elemen Aceh diusir. Pemerintah Belanda memonopoli kembali perekonomian Kesultanan Barus .

1843-1845
Perbatasan Tanah Batak yang relatif aman hanya pelabuhan Singkil dan Barus serta perbatasan darat dengan Aceh. Sisingamangaraja XI mengikuti Pendidikan Militer di Indrapuri, Kesultanan Aceh.

1845-1847
Aceh mengirimkan satu balayon tentara di bawah komando Teuku Nangsa Sati ke Toba. Bersama Yang Mulia Sisingamangaraja XI, Teuku menyiapkan perencanaan strategi gerilya. Pasukan komando gerilya dibentuk. Pertahanan dengan menggelar pasukan sudah tidak memungkinkan. Siasat ini pada tahun 1873-1907 sangat membingungkan pihak imperialis Belanda.

1848
Putra Mahkota, Pangeran Parobatu, satau-satunya anak laki-laki Sisingamangaraja XI lahir.

1849
Neubronner van der Tuuk, atau yang dikenal di masyarakat Batak dengan nama Pandortuk (Big Nose), diberangkatkan oleh Dutch Bible Society ke Barus untuk mempelajari peradaban Batak agar dapat memberi masukan kepada misionaris, mengatakan:
“Tidak ada harapan untuk mengkristenkan orang-orang Angkola dan Mandailing. Sebagian besar mereka telah memeluk agama Islam, begitu juga kebanyakan penduduk yang berada dalam penjajahan Belanda. Untuk menyebarkan Agama Kristen, oleh karena itu, harus diambil sebuah keputusan yang pasti. Semua anggota misi harus diarahkan ke tempat lain (tanah Batak Utara). Jika kita tidak mengikuti rencana ini, maka semua penduduk akan memeluk agama Islam tanpa kita sadari. Biasanya penyebaran bahasa Melayu (di tanah-tanah penduduk yang masih pagan) akan membawa orang-orang melayu ke tempat tersebut dan akan membuat penduduk tertarik kepada Islam” (Pedersen 1970: 54; Muller-Kruger 1959: 181-182)

1852
Barus berhasil dikerdilkan oleh Belanda sebagai kota pelabuhan. Posisisnya terkurung dengan dibangunnya Sibolga sebagai pelabuhan penyaing oleh Belanda.

Sebab lain menurunnya popularitas Barus sebagai pusat perdagangan di Tanah Batak adalah ditemukannya senyawa kimia yang dapat menandingi kualitas kemenyan atau kapur barus di Jerman. Produk konvensional dari  Barus menjadi sangat usang.

1856
Sultan Marah Tulang naik tahta Kesultanan Barus Hulu pada tahun 1270 H atau sekitar tahun 1856. Dia merupakan Sultan terakhir dari Dinasti Pardosi yang masih memangku jabatan kerajaan. Setelah kepeninggalannya, keturunannya hanya menjadi ‘kepala kuria’ atau pegawai gajian penjajah Belanda.

1857-1861
Zending Calvinist Belanda dari “Gereja Petani Ermeloo/Holland” (GPE) dengan gencar melakukan misi di Tanah Batak Selatan. Mereka antara lain; Pendeta Van Asselt di Parausorat, Sipirok, pendeta Dammerboer di Hutarimbaru, Angkola, Pendeta Van Danen di Pangarutan, Angkola dan Pendeta Betz di Bungabondar, Sipirok.

Misinya gagal. Masyarakat Muslim Batak yang sudah tidak berdaya dalam penguasaan Belanda menolak untuk dikristenkan. Belanda, tidak habis akal, mempercayakan misi pengkristenan Batak Selatan dan Utara kepada pendeta-pendeta Jerman, “Reinische Missions Gesselschaft” (RMG), yang menganggur di Batavia, sejak diusir keluar dari Kalimantan Selatan oleh Pangeran Hidayat.

Belanda menghubungkan pendeta Fabri, pemimpin RMG di Jerman dengan pendeta Witteveen, pemimpin dari GPE. GPE mengalah, mundur dari Tanah Batak Selatan, karena kahabisan dana. Dengan banjir dana dari perusahaan Hennemann & Co, RMG memulai upaya misi kembali agar secepatnya Belanda dapat menguasai Tanah Batak dan menghancurkan Aceh di ujung sana.

1861
Pada tanggal 7 Oktober 1861, di dalam rumah pendeta van Asselt diadakan rapat bersama oleh pendeta-pendeta Belanda yang sudah aktif di tanah Batak bersamam pendeta-pendeta Jerman yang baru datang. Rapat ditutup oleh pendeta Klammer hasilnya; Pimpinan pengkristenan tanah Batak sudah berpindah dari tangan Pendeta Belanda ke tangan Pendeta Jerman. Pendeta Belanda Dammerboer serta van Dalen tidak menyukai posisinya menjadi bawahan seorang “Moffen”, Jerman. Mereka berhenti menjadi pendeta.

1861-1907
Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak yang masih dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara frontal Belanda belum mampu karena dipihak lain dan di dalam negeri mereka banyak menghabiskan tenaga untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan, sementara itu, kerajaan-kerajaan pribumi tidak menyadari keunggulan mereka.

Belanda kemudian menerapkan Devide et Impera dari pantai timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya swapraja. Tanah Batak dipecah menjadi:
1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja.
2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja.
3. Daerah Batak, Singkil, gayo, dan Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam Aceh.
Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:
1. Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di tanah Karo, Dusun
2. Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.
3. Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.
4. Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.
5. Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung diberi pengakuan secara hukum.
6. Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim didirikan dengan kepemimpinan Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku Kota Pinang.
7. Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan, misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila dan lain sebagainya dengan tujuan untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama, wilayah dan kepentingan ekonomi.
8. Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga.
9. Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.

Pihak Gayo yang dimasukkan ke Aceh dan orang-orang Batak Karo serta Simalungun tidak dapat lagi membela perjuangan Dinasti Sisingamangaraja karena mereka menganggap dirinya masing-masing sudah berbeda kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check point, untuk mengisolir rakyat setiap kerajaan dan membatasi pelintas batas. Kekuatan ekonomi, praktis, dikuasi Belanda. Kekuatan Tanah Batak mencapai titik paling lemah.

Belanda memutuskan untuk mengkristenkan tanah Karo pegunungan dengan memerintahkan Nederlandsche Zendings Genootschap yang kristen protestan kalvinist. Akibatnya kini orang-orang Karo yang Kristen protestan kalvinist tidak mau bergabung, baik itu identitas maupun sosial, dengan orang-orang Toba yang Kristen protestan lutheran dalam HKBP.

Perbedaan identitas juga terdapat di dalam komunitas Karo sendiri. Mereka yang bermukim di tanah Karo pegunungan hingga tahun 1905 tetap masih menganut agama tradisional Batak. Dalam abad ke-20 mereka banyak menganut Kristen Protestan Kalvinis. Sementara itu orang Karo Dusun kebanyakan adalah muslim sejak masa kesultanan Haru Delitua (1508-1523).

Akibat penurunan identitas Karo menjadi Melayu banyak orang Karo yang muslim yang tidak mencantumkan marganya saat lahir. Kebangkitan identitas Karo akhirnya terjadi lagi pada era tahun 1950-an. Di mana banyak muslim Karo sudah mengenakan marganya kembali.

1863
Pendeta Nommensen dari Sipirok memasuki Silindung. Pengkristenan Tanah Batak Utara dimulai dan dikerjakan dengan sangat sistematis. Target ke selatan Batak, daerah Batak Muslim, dikurangi. Dengan beking seorang raja, Pontas Lumban Tobing, yang sudah pro Belanda, sebuah gereja pertama didirikan di Hutadamai, Silindung. (Tuanku Rao; Ompu Parlindungan)

1864-1866
Pangeran Parobatu, selama dua tahun, mengikuti Pendidikan Militer di XXV/Mukim, di Kesultanan Aceh. Setelah wisuda, pangeran juga membawa oleh-oleh; Bantuan Pasukan Penempur dari Aceh, ke Bakkara.

1867
Penyakit Kolera menjangkiti lagi. Para tenaga medis Kerajaan gagal membendung epidemik ini. Yang Mulia Sisingamangaraja XI wafat karena kolera. Pangeran Parobatu naik tahta menjadi Sisingamangaraja XII dengan gelar Patuan Bosar. Ada yang menyebutkan angka tahun masa pemerintahan Sisingamangaraja yang juga dikenal dengan nama Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu adalah 1871-1907.

Akibat epidemik ini, intensitas misi pengkristenan bertambah tinggi. Rakyat yang frustasi berduyun-duyun mendatangi Christian Community di Hutadame.


(bersambung ke artikel Urutan Tahun Sejarah Batak Jilid VI)

Posting Komentar